Perempuan dan Bayang-Bayang Kekerasan Seksual

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat.
Illustrasi: Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat.

Satuimpresi.com – Belakangan ini, beberapa kasus pelecehan seksual terjadi di Indonesia. Mulai dari oknum dokter hingga tenaga ahli di DPRD, mencerminkan betapa dalamnya akar masalah patriarki di masyarakat Indonesia. Hari demi hari, perempuan terus menjadi korban dari tindakan yang seharusnya tidak lagi ada di era modern ini.

Ancaman yang Masih Menghantui Perempuan Indonesia

Beberapa waktu lalu, kasus pelecehan seksual yang terjadi di KRL menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Seorang perempuan menjadi korban pelecehan di transportasi publik, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi setiap warga. Kejadian ini mengingatkan kita betapa sistem transportasi di Indonesia masih belum sepenuhnya menjamin rasa aman, khususnya bagi perempuan.

Selain itu, kasus pelecehan seksual oleh seorang dokter di Malang menambah daftar panjang tindak kekerasan yang terjadi di sektor kesehatan. Sebagai sektor yang seharusnya memberikan rasa aman, profesionalisme dalam dunia medis seharusnya menjadi prioritas utama. Namun kenyataannya, oknum-oknum tak bertanggung jawab terus menyalahgunakan posisi mereka untuk melakukan tindakan pelecehan. Masyarakat perlu mendesak pihak berwenang untuk melakukan pemeriksaan lebih ketat terhadap profesi-profesi yang rentan disalahgunakan.

Angka Meningkat, Upaya Masih Belum Maksimal

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), sebanyak 5.949 kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat pada awal 2025. Angka ini mengungkapkan bahwa meskipun telah ada berbagai kebijakan dan upaya pencegahan, pelaku kekerasan seksual tetap saja ada. Masyarakat dan aparat hukum harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa setiap korban merasa aman untuk melapor dan mendapatkan perlindungan yang layak.

Kunci Mengatasi Masalah Kekerasan Seksual

Penting untuk menyadari bahwa masalah pelecehan seksual ini bukan sekadar isu individu, melainkan masalah sosial yang harus diselesaikan secara kolektif. Keberanian perempuan untuk melaporkan pelecehan seksual tidak cukup jika sistem hukum dan sosial tidak mendukung mereka. Oleh karena itu, tindakan preventif harus menjadi prioritas utama, seperti pendidikan tentang kesetaraan gender, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan, serta penyediaan ruang aman bagi perempuan untuk berbicara tanpa rasa takut.

Perjuangan untuk mengatasi kekerasan seksual harus melibatkan berbagai lapisan masyarakat, dari pemerintah hingga sektor swasta, serta lembaga-lembaga pendidikan. Setiap elemen individu di masyarakat perlu berperan aktif dalam menciptakan ruang yang aman bagi perempuan. Kartini, sebagai simbol perjuangan perempuan di Indonesia, tidak hanya memperjuangkan hak pendidikan untuk perempuan, tetapi juga melawan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Kini, kita semua harus melanjutkan perjuangan itu dengan berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual dan diskriminasi. Dimulai dari diri sendiri.

Tantangan Belum Usai

Peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi momen refleksi bagi kita semua untuk menilai sejauh mana kemajuan yang telah kita capai dalam memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia. Namun, kita harus menyadari bahwa perjuangan ini masih jauh dari selesai. Masih banyak perempuan yang terpinggirkan dan menjadi korban kekerasan, termasuk pelecehan seksual. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman, di mana setiap perempuan dapat hidup tanpa rasa takut, berkembang tanpa hambatan, dan mencapai potensi terbaiknya. Jika kita benar-benar ingin mewujudkan cita-cita Kartini, maka tugas kita sekarang adalah melanjutkan perjuangannya dengan memastikan bahwa setiap perempuan di Indonesia memperoleh perlindungan, kesempatan, dan hak yang setara, tanpa ada yang tertinggal sedikitpun.

Baca Juga: “Menilik Kebebasan Pers di Masa Orde Baru”

Bagikan: Perempuan dan Bayang-Bayang Kekerasan Seksual