Pada Jumat sore, 18 Juli 2025, palu hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat mengetuk bersamaan dengan vonis penjara 4,5 tahun untuk Tom Lembong. Tidak ada bukti suap, tidak ada gratifikasi, dan tanda-tanda memperkaya diri pun tidak ditemukan. Namun ia tetap harus mendekam di balik jeruji besi. Ini bukan sekadar putusan, ini adalah studi kasus tentang hukum yang kehilangan akal sehat serta politik yang memakai celana hukum sebagai kostum.
Apakah ini keadilan? Atau hanya panggung teater politik yang menyamar jadi ruang sidang?
Putusan ini menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Apa yang sebenarnya sedang diadili? Seorang menteri yang mengambil keputusan diskresi dalam kondisi darurat demi menjaga stabilitas pasokan pangan nasional? Atau seorang figur publik yang “kebetulan” berada di barisan oposisi dan harus “dibungkam” sebelum suara kritisnya makin nyaring?
Ketika Maladministrasi Disulap Menjadi Kriminalitas
Mari bicara hukum, bukan asumsi. Dalam hukum pidana, untuk menyebut sebuah tindakan sebagai korupsi, dibutuhkan lebih dari sekadar kesalahan prosedural. Ada syarat mens rea, niat jahat. Ada actus reus, perbuatan yang melawan hukum. Dan tentu saja, pertanggungjawaban pidana.
Dalam kasus Tom Lembong, tidak ada bukti bahwa ia memperkaya diri sendiri. Tidak ada bukti bahwa ia mengambil keputusan untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Bahkan para saksi dan fakta persidangan mengamini bahwa yang dilakukannya adalah bagian dari tugasnya sebagai pejabat publik. Jadi di mana niat jahatnya? Di mana unsur korupsinya?
Kalau kita membiarkan kesalahan administratif, yang sejatinya bisa dikoreksi lewat sanksi etik atau evaluasi kebijakan, menjadi pintu masuk pemidanaan. Maka kita sedang memperdagangkan hukum demi kepentingan politik sesaat. Kita sedang menciptakan preseden berbahaya, di mana diskresi menjadi dosa, dan keberanian membuat kebijakan justru dibayar dengan jeruji besi.
Hukum yang Ditegakkan Secara Pilih Kasih Bukan Lagi Hukum
Kita tidak sedang hidup di negara dongeng. Kita tahu, publik tahu, dan dunia pun tahu: politik di Indonesia tidak steril dari intervensi. Maka, ketika penyelidikan terhadap Tom Lembong dimulai tidak lama setelah ia terang-terangan mendukung calon presiden oposisi, jangan salahkan publik jika mulai muncul kecurigaan. Bukan teori konspirasi, ini hanya realitas politik yang terlalu kasar untuk ditutupi.
Mengapa baru sekarang kasus 2015-2016 ini dibuka? Mengapa tajinya muncul setelah panggung politik berubah? Kalau memang hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, mengapa hanya bulu oposisi yang dicabut satu per satu?
Vonis ini bukan sekadar tentang Tom Lembong. Ini adalah pesan. Pesan bahwa menjadi kritis bisa berujung kriminalisasi. Bahwa menyuarakan pendapat berbeda bisa diganjar penjara. Dan pesan ini menggema sampai ke dalam ruang-ruang rapat para pejabat: berhati-hatilah, karena membuat kebijakan demi rakyat bisa jadi kesalahan fatal!
Efek Gentar dan Birokrasi yang Lumpuh
Putusan ini akan dikenang bukan karena kekuatannya, tapi karena ketakutan yang ia timbulkan. Ia menjadi efek gentar (chilling effect) bagi seluruh birokrat negeri ini. Karena mulai hari ini, para pejabat akan berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan berani. Mereka akan lebih memilih tunduk pada prosedur kaku ketimbang menolong rakyat dalam keadaan darurat.
Inilah paradoks hukum kita: ketika diskresi demi kepentingan publik dibungkam oleh prosedur yang dipertuhankan, maka fungsi pejabat publik berubah bukan lagi sebagai pengambil kebijakan, melainkan sebagai penghafal aturan.
Dan kalau ini terus dibiarkan, kita tak hanya kehilangan teknokrat seperti Tom Lembong, kita kehilangan masa depan birokrasi yang progresif.
Akhirnya, Siapa yang Sedang Diadili?
Pertanyaan yang lebih besar dari kasus ini adalah: siapa sebenarnya yang sedang diadili? Seorang menteri? Seorang tokoh oposisi? Atau nurani keadilan kita sendiri yang perlahan mulai mati?
Tom Lembong bisa saja kalah dalam putusan pengadilan, tapi negara lah yang sedang diuji. Dan jika vonis ini menjadi norma baru, maka bukan hanya demokrasi yang terancam, tapi keberanian untuk berpikir dan bertindak demi rakyat juga ikut dikubur.
Palu hakim boleh mengetuk. Tapi publik berhak menggugat: ini vonis atau vonis politik?

