Ketika Ibu Dijadikan Simbol Moral: Salah Siapa Jika Mereka Terjerat Narkoba?

IBU RUMAH TANNGA
Net

Satuimpresi.com – Konferensi pers Badan Narkotika Nasional (BNN) pada Juni 2025 membuka kenyataan pahit tentang wajah baru peredaran narkoba di Indonesia: dari total 172 kasus yang diungkap, ada 285 tersangka, dan beberapa di antaranya adalah ibu rumah tangga.
Barang bukti yang disita pun tak kecil: 683,8 kilogram narkoba berbagai jenis; methamphetamine, ganja, ekstasi, ketamin.

Namun, yang paling menarik (dan mengganggu) bukan hanya skalanya, tapi juga tajuk yang dipilih oleh Kepala BNN, Irjen Marthinus Hukom untuk membuka konferensi itu:

“Peran Ibu sebagai Pembentuk Karakter dan Moral Bangsa.”

Kalimat itu terdengar mulia tetapi menjadi kontras dan penuh ironi ketika digunakan sebagai pembuka konferensi yang membeberkan fakta bahwa sejumlah ibu rumah tangga justru terlibat dalam jaringan narkoba. Ada kesan bahwa ibu-ibu ini telah gagal menjalankan kodrat moralnya, dan karena itu, menjadi wajah dari dekadensi bangsa.

Namun pertanyaannya: apakah benar demikian? Atau justru ini bentuk kegagalan negara?


Asap Tak Akan Ada Tanpa Api

Dalam filsafat kausalitas dikenal istilah causa prima, atau prinsip sebab-akibat. Tak ada akibat tanpa sebab. Dan jika hari ini seorang ibu rumah tangga bisa terjerat sebagai kurir narkoba, maka semestinya pertanyaan pertama yang harus diajukan bukanlah soal moralnya, tapi soal apa yang mendorongnya?

Apakah mereka punya akses pekerjaan yang layak?
Apakah jaminan sosial benar-benar menjangkau perempuan sampai ke akar rumput?
Apakah program pemberdayaan perempuan berhasil menekan keterpurukan ekonomi keluarga?
Ataukah sistem negara justru mendorong mereka ke jurang, lalu menuduh mereka tak bermoral saat jatuh?


Beban Moral yang Tidak Adil

Mengapa seorang ibu yang terjerat narkoba disebut mencemari moral bangsa, sementara sistem ekonomi-politik yang mungkin mendorongnya ke sana tidak pernah disebut ikut bersalah?

Kita jarang (atau tidak pernah) mendengar tajuk resmi yang berbunyi:

“Negara sebagai Pembentuk Kesejahteraan dan Penjamin Etika Sosial.”

Narasi yang mengikatkan tanggung jawab moral bangsa kepada perempuan, apalagi ibu rumah tangga, adalah konstruksi yang berat sebelah. Seolah-olah beban membentuk moral dan karakter bangsa itu adalah tanggung jawab personal, bukan struktural. Padahal, ibu tidak hidup dalam ruang hampa. Ia hidup dalam negara, dalam sistem, dalam realitas ekonomi, sosial, dan budaya yang kompleks.


Potret Ibu dalam Jeratan: Akibat dari Sistem yang Tak Adil?

Beberapa tersangka ibu rumah tangga dalam kasus ini diduga menjadi kurir atau penjual kecil-kecilan. Bukan gembong. Bukan pemodal. Mereka hanya bagian paling bawah dari rantai yang panjang.
Sering kali, mereka masuk karena terpaksa, atau karena tidak punya pilihan lain. Uang Rp300.000–Rp500.000 untuk satu kali pengantaran bisa berarti makan selama seminggu.

Dan ketika tertangkap, mereka bukan hanya kehilangan kebebasan, tapi juga diseret ke dalam narasi moral kolektif, seolah-olah mereka adalah penanda kejatuhan nilai-nilai ibu bangsa.

Apakah adil?


Ibu Butuh Perlindungan, Bukan Beban Moral Tambahan

Jika kita sungguh ingin menjadikan ibu sebagai pembentuk moral bangsa, maka negara harus terlebih dahulu membentuk sistem yang adil bagi mereka.
Berikan pekerjaan. Pendidikan. Akses pengasuhan. Jaminan sosial. Kesetaraan ekonomi. Dan ruang untuk hidup dengan layak.

Karena seorang ibu bukan hanya simbol moral; ia adalah manusia.
Dan ketika seorang manusia kehilangan peluang hidup yang layak, kejahatan bukanlah pilihan, tapi jalan yang tersisa.

 

 

 


Sumber Data:
Konferensi Pers Kepala BNN Irjen Pol. Marthinus Hukom, Jakarta, Juni 2025, di mana disampaikan data 172 kasus narkoba, 285 tersangka, serta 683,8 kg barang bukti. Pernyataan pembuka disampaikan dengan tajuk: “Peran Ibu sebagai Pembentuk Karakter dan Moral Bangsa”.

Bagikan: Ketika Ibu Dijadikan Simbol Moral: Salah Siapa Jika Mereka Terjerat Narkoba?