Mengungkap Tabir di Balik Kerusuhan Mei 1998

Ilustrasi
Ilustrasi

Satuimpresi.com – Kerusuhan Mei 1998 menjadi puncak ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru sekaligus mengakhiri kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden ke-2 RI. Aksi perusakan bangunan, pembakaran fasilitas umum, dan penjarahan toko-toko swalayan menghiasi perstiwa yang terjadi pada 4-15 Mei 1998 tersebut. Sebanyak kurang lebih 1.200 korban meninggal dunia dan ribuan lainnya luka-luka imbas dari tragedi mengerikan tersebut. Namun, terdapat satu kerugian immateriil yang benar-benar meninggalkan noda hitam dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kasus pemerkosaan massal.

Pemerkosaan massal 1998 merupakan kasus kekerasan seksual rasial yang sebagian besar menimpa perempuan beretnis Tionghoa. Dalam rentang waktu empat hari (12-15 Mei 1998), Tim Relawan untuk Kemanusiaa menerima 165 laporan terkait kasus pemerkosaan yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Namun, jumlah tersebut masih bisa berubah mengingat banyak kasus-kasus lainnya yang belum teridentifikasi. Situasi ini menunjukkan betapa parahnya dampak immateriil dari Kerusuhan Mei 1998, terutama terhadap perempuan dan etnis Tionghoa, yang menjadi target kekerasan berbasis ras dan gender.

Jeritan Tanpa Suara di Tengah Kekacauan

Dering telepon milik Ita Fatia Nadia (salah satu relawan TKRP) tak kunjung hening. Serangkaian panggilan dari berbagai sudut di Ibukota melaporkan hal yang sama, yaitu kasus kekerasan seksual. Panggilan pertama mulai masuk. Korbanya adalah seorang perempuan di kawasan Pluit, Jakarta Utara yang mengalami pemerkosaan di sebuah apartemen. Beberapa menit setelahnya, telepon Ita kembali berdering, mengabarkan bahwa tiga orang perempuan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan di wilayah Glodok, Jakarta Barat. Kejadian tersebut terus berlanjut hingga sedikit mereda pada 15 Mei 1998.

Ita dan para aktivis lain yang tergabung dalam TKRP terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan bantuan kepada korban. Pada saat itu, prioritas utama mereka adalah menyediakan tempat perlindungan yang aman bagi para korban. Langkah ini diambil dikarenakan pemerintah belum sedikitpun memberikan respon terhadap kasus pemerkosaan massal. Akibatnya, para aktivis bekerja sama secara mandiri untuk menciptakan rumah aman guna melindungi keselamatan korban.

Salah Satu Korban itu Bernama Francisca

14 Mei 1998, Ita menerima panggilan dari salah satu klinik yang berada di wilayah Kota Lama, Tangerang. Sontak, ia langsung menuju ke klinik tersebut untuk menemui gadis cilik cantik berusia 11 tahun yang menjadi korban pemerkosaan massal, Francisca namanya.

“Kakak dan ibunya telah lebih dulu meninggal karena kasus yang sama. Ibunya diperkosa, kakaknya juga diperkosa hingga meninggal, tersisa Fransisca, dia diperkosa tapi masih bertahan hidup.” ujar Ita, ketika di wawancarai oleh Kompas.

Kondisi Fransisca sangat mengkhawatirkan, karena ia mengalami pendarahan hebat pada kemaluannya. Dokter yang menangani kasus ini memberi tahu Ita, bahwa botol kaca yang dimasukkan oleh seseorang menjadi penyebab luka tersebut. Ita merasa tidak tega melihat penderitaan gadis cilik tersebut. Dengan penuh kasih sayang, ia memangku kepala Fransisca yang sedang berjuang sendirian, dan kemudian membisikkan kata-kata lembut untuk menenangkan gadis kecil itu.

“Tidak apa kalau pergi. Di sana sudah ada ibu dan kakak kan menunggu,” kenang Ita.

Pada akhirnya, Francisca menghembuskan napas terakhir pada pukul 11:15 WIB dan melaksanakan kremasi tiga hari setelahnya di daerah Cilincing, Jakarta Utara.

Respon Pemerintah

Demi mencari keadilan bagi para korban, Ita bersama seorang rekan aktivis perempuan, Saparinah Sadli, membawa berkas-berkas kasus tersebut ke Istana Negara guna menemui Presiden B.J. Habibie. Setelah mendengar laporan tersebut, Presiden B.J. Habibie menerima informasi tentang pemerkosaan massal dengan serius. Ia kemudian menyampaikan permintaan maaf atas nama pemerintah di depan wartawan dan memerintahkan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Selain itu, ia juga menyetujui permintaan aktivis untuk mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 15 Oktober 1998.

Berdasarkan temuan TGPF, banyak korban memilih diam karena takut dampak yang akan mereka hadapi, baik sosial maupun pribadi. Beberapa korban juga khawatir akan ancaman yang mungkin datang jika mereka berbicara. Akibatnya, mereka enggan memberikan kesaksian meski menginginkan keadilan.

Meski demikian, TGPF menyerahkan hasil penyelidikan kepada Komnas HAM, yang kemudian meneruskan laporan tersebut ke Jaksa Agung. Namun, lebih dari dua dekade berlalu, kasus pemerkosaan massal ini tetap belum terselesaikan. Pihak berwenang menilai berkas penyidikan yang ada masih tidak lengkap.

Secercah Harapan, Jauh dari Kenyataan

Pada 9 Mei 2022, pemerintah secara resmi mengesahkan UU No. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang dapat mencegah berbagai bentuk tindak kejahatan seksual, mengupayakan pendampingan, hingga pemulihan korban. Akan tetapi, UU TPKS tidak dapat menyelidiki kasus-kasus yang terjadi sebelum undang-undang ini disahkan. Hal ini terjadi karena kekerasan seksual tidak dianggap sebagai tindak kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dengan kata lain, UU TPKS tidak berlaku dalam kasus pemerkosaan massal Mei 1998.

Penutup

24 tahun berlalu, kasus pemerkosaan massal Mei 1998 hingga kini belum terungkap sepenuhnya. Menjadi korban pemerkosaan tanpa keadilan dari tanah air sendiri berarti memikul trauma seumur hidup, hidup dengan luka yang tak akan pernah pulih. Sebagai penutup, marilah kita sejenak menundukkan kepala dan berdoa untuk para korban yang telah meninggal sebelum suaranya terdengar, serta bagi mereka yang hingga kini belum merasakan keadilan atas penderitaan yang mereka alami di tanah air mereka sendiri.

Baca juga: “Dilema Pemangkasan Anggaran Pendidikan”

Bagikan: Mengungkap Tabir di Balik Kerusuhan Mei 1998