Satuimpresi.com – Beberapa waktu lalu, pemerintahan Prabowo Subianto melakukan efisiensi anggaran ke beberapa kementrian dan lembaga. Salah satu yang terdampak adalah sektor pendidikan. Kebijakan ini memicu pro dan kontra di berbagai kalangan, terutama karena konstitusi mengamanatkan alokasi minimal 20% dari APBN untuk sektor pendidikan. Pemotongan ini berdampak pada berbagai program, termasuk beasiswa dan bantuan operasional sekolah.
Dalam kebijakan terbaru, pemerintah mengurangi anggaran pendidikan dasar dan menengah dari Rp8,03 triliun menjadi Rp7,27 triliun. Selain itu, pendidikan tinggi mengalami pemangkasan sebesar Rp14,3 triliun dari total pagu Rp56,6 triliun. Pemerintah berpendapat bahwa langkah ini diperlukan untuk mengalokasikan dana ke sektor lain, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, keputusan ini memunculkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap dunia pendidikan di Indonesia.
Dampak Efisiensi Anggaran Menurut Para Ahli
Kepala Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Iman Zanatul Haeri, menyoroti pemangkasan anggaran pendidikan yang justru mengalihkan dana ke program lain. Ia menilai kebijakan ini tidak sesuai dengan kebutuhan utama dunia pendidikan, terutama dalam memberikan akses yang lebih mudah dan merata bagi seluruh siswa. Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu memprioritaskan pemerataan pendidikan daripada mengalokasikan anggaran untuk program lain yang belum tentu menjadi kebutuhan utama masyarakat.
“Artinya itu sudah menjadi contoh bahwa kita punya masalah serius di dalam dunia pendidikan untuk mengakses pendidikan yang tidak dipungut biaya,” ujar Iman.
Pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, juga menyoroti pemangkasan anggaran pendidikan yang semakin membebani sektor ini. Ia menilai bahwa pemerintah seharusnya memperkuat komitmen terhadap peningkatan kualitas pendidikan, bukan justru mengurangi anggaran yang sudah terbatas.
“Sudah dapatnya sedikit, dipotong pula,” kata Ubaid.
Berkaca dari kondisi ini, Ubaid mempertanyakan niat pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan.
“Ketika komitmen anggarannya lemah, bahkan terjadi pengurangan, ya memang tidak ada (komitmen),” tambahnya.
Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) juga mencatat, bahwa 273 kabupaten/kota dapat memenuhi daya tampung murid dengan sekolah negeri, sementara sekitar 46% dari total keseluruhan masih membutuhkan sekolah swasta untuk menampung mereka.
“Kita kekurangan sekolah,” ujar Direktur Eksekutif PSPK, Nisa Felicia.
Nisa juga menegaskan pentingnya perhatian lebih terhadap anggaran pendidikan untuk memenuhi kebutuhan ini, jika pemerintah benar-benar serius memenuhi program wajib belajar 13 tahun yang telah mereka canangkan.
“Kalau wajib belajar itu 13 tahun, itu berarti dari level PAUD sampai SMA. Itu harusnya ditunjukkan dengan anggaran yang serius,” tegas Nisa.
Dampak Lainnya
Selain mempengaruhi pendidikan formal, kebijakan ini juga berdampak pada program beasiswa. Banyak calon penerima KIP-Kuliah, Beasiswa ADIK, dan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) khawatir karena pemangkasan ini mengurangi jumlah penerima bantuan.
Sebanyak 844.174 mahasiswa sedang menjalani perkuliahan atau dalam status on going, sementara ada juga mahasiswa baru. Dari jumlah tersebut, 663.821 mahasiswa penerima KIP-K berisiko tidak mendapatkan dana pendidikan mereka pada tahun 2025.
Jika hal ini terjadi, 663.821 mahasiswa penerima KIP-K bisa terancam putus kuliah, dan tidak ada mahasiswa baru yang akan menerima KIP-K.
Beasiswa KIP-K sebelumnya memiliki anggaran sebesar Rp 14,698 triliun, namun dipotong Rp 1,31 triliun. Sementara itu, beasiswa ADIK (Afirmasi Pendidikan Tinggi), yang semula memiliki pagu Rp 213 miliar, juga dipangkas sebesar 10%. Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) yang memiliki anggaran awal Rp 194 miliar juga mengalami pemotongan hingga 10% dan Sebanyak 12 mahasiswa penerima BPI luar negeri untuk jenjang S3 berisiko tidak menerima pembayaran biaya pendidikan mereka.
Selain beasiswa, biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) juga berpotensi mengalami kenaikan akibat dari pemangkasan anggaran pendidikan.
Tanggapan Kurang Meyakinkan
Pemerintah mengklaim bahwa pemangkasan anggaran bertujuan untuk mengurangi belanja negara yang tidak esensial, dengan tetap menjaga kualitas layanan publik dan program-program prioritas. Mereka mengatakan bahwa efisiensi ini tidak akan memengaruhi belanja pegawai, layanan dasar, pelayanan publik, dan bantuan sosial.
“Efisiensi yang sesuai arahan Presiden adalah menghilangkan lemak-lemak dalam belanja APBN kita, tapi tidak mengurangi otot,” ucap Hasan, dikutip dari Kompas.com, Selasa (11/02/2025).
Namun, banyak pihak mempertanyakan apakah efisiensi benar-benar menjadi alasan utama atau justru ada faktor lain yang memengaruhi keputusan ini. Kritik dari berbagai kalangan menyoroti kemungkinan adanya kepentingan politik dan agenda tertentu di balik kebijakan ini.
Penutup
Pendidikan adalah hak fundamental yang dimiliki setiap warga negara. Jika hak yang paling mendasar saja tidak terpenuhi, lantas bagaimana dengan hak-hak yang lainnya?
Di samping itu, pendidikan harus menjadi fokus utama dalam pembangunan negara. Jika pemotongan anggaran berlanjut, dampaknya tidak hanya terasa di sektor pendidikan, tetapi juga pada masa depan generasi muda Indonesia. Selain itu, efisiensi anggaran yang diterapkan bisa menggagalkan upaya memutus rantai kemiskinan, karena mahasiswa dari keluarga kurang mampu akan kesulitan meraih gelar sarjana. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali kebijakan ini untuk memastikan hak pendidikan masyarakat tetap terjamin dan terlindungi.
Baca juga: “Justin Hubner Tampil Gemilang Bersama Wolves U-21”