Satuimpresi.com – Efek Rumah Kaca tidak pernah menulis lagu tanpa maksud. Setiap karyanya selalu menyimpan pesan mendalam yang lahir dari pengalaman nyata. Lagu “Putih” dari album Sinestesia menjadi salah satu karya paling personal, reflektif, dan emosional yang pernah mereka rilis.
Lagu ini bukan hanya tentang musik. Putih menjadi semacam perjalanan spiritual yang mengajak pendengar menyelami dua sisi manusia, yaitu kematian dan kehidupan. Dengan durasi hampir sepuluh menit, Efek Rumah Kaca menarasikan dua bagian yang saling bertolak belakang, namun terhubung secara utuh.
Tentang Memandang “Kematian” dengan Penuh Kesadaran
Bagian pertama dari lagu ini membuka percakapan tentang kematian. Lirik seperti “Aku berbaring dalam mobil ambulans, dengar pembicaraan tentang pemakaman” bukan sekadar imajinasi. Suara itu seolah berasal dari seseorang yang benar-benar berada di ambang kematian dan melihat dirinya dari luar tubuh.
Efek Rumah Kaca tidak mengemas kematian sebagai teror. Mereka menyampaikannya sebagai keniscayaan, bahkan kesempurnaan. “Dan kematian, kesempurnaan… / Dan kematian hanya perpindahan”, begitu bunyi liriknya. Dalam narasi ini seolah menggambarkan bahwa kematian bukanlah sebuah akhir, melainkan jembatan menuju kekekalan. Ada ketenangan yang hadir justru karena penerimaan, bukan karena pengharapan akan hidup kembali.
Kita juga diajak menyusuri kembali ruang-ruang kenangan. “Ke ruang tengah, hangat… / Menghirup bau masakan kesukaan”. Lirik ini menghidupkan perasaan nostalgia yang lembut. Seolah-olah, dalam kematian pun, kenangan tetap hidup, membekas, dan hangat.
Dan “Kehidupan” Sebagai Awal dari Sebuah Teka-Teki
Ketika bagian kedua mulai mengalun, suasana perlahan berubah. Kali ini, tangisan bayi menjadi tanda kehidupan yang baru, awal dari segalanya. “Lalu pecah tangis bayi, seperti kata Widji… / Disebar biji-biji, disemai menjadi api”. Narasi di samping seolah mengingatkan bahwa kehidupan tidak mudah, ia merupakan perjalanan yang sarat dengan kemungkinan dan pertanyaan.
Efek Rumah Kaca tidak menyederhanakan kelahiran sebagai perayaan semata. Mereka justru mengangkat lapisan terdalam dari kehidupan tentang rasa takut, pertanyaan tentang kebenaran, dan pencarian makna. “Tentang akal dan hati, rahasianya yang penuh teka-teki… / Tentang nalar dan iman, segala pertanyaan tak kunjung terpecahkan.” Baris-baris ini seolah mencerminkan betapa kompleksnya hidup sebagai manusia.
Namun di balik itu semua, ada secercah harapan. “Takkan mati kekeringan, esok ‘kan bermekaran,” menandakan bahwa kehidupan, meski penuh ujian, halangan , dan rintangan, tetap memberi kemungkinan untuk tumbuh dan mekar layaknya bunga di tengah taman.
Lalu Putih, Warna yang Menghubungkan Awal dan Akhir
Dalam lagu ini, Efek Rumah Kaca tidak memberi tahu kita bagaimana cara hidup atau menghadapi kematian. Mereka hanya menawarkan ruang untuk berpikir, merenung, dan merasa. Dan warna “putih” mewakili semua itu: kosong tapi penuh, akhir tapi juga awal, duka dan harapan dalam satu tarikan napas.
Putih bukan lagu yang mudah. Lagu ini menuntut pendengarnya hadir sepenuhnya dengan pikiran, ingatan, dan perasaan. Dan mungkin karena itu, Putih terasa sangat manusiawi, reflektif, dan religi.
Putih diciptakan bukan untuk mengajari, tapi untuk menemani. Menemani mereka yang sedang berduka, dan mereka yang sedang merayakan kehidupan. Lagu ini juga menjadi pengingat bahwa dalam hidup dan mati, yang paling penting adalah kesadaran kita untuk benar-benar hadir di dalamnya.
Baca Juga: “Dedi Mulyadi: antara Sunda, Seragam, dan Sorotan”