Satuimpresi.com – Bayangkan seorang tokoh publik seperti layaknya pohon besar di tengah alun-alun: rindang, menjulang, tapi juga jadi tempat burung-burung ribut bersarang dan orang lewat melempar pandangan, entah kagum atau kesal.
Itulah Dedi Mulyadi. Sosok yang kalau bicara, lebih sering pakai hati daripada skrip.
Dedi itu seperti angin dari dataran tinggi Purwakarta, datang dengan sejuk, kadang nyeleneh, tapi selalu bikin orang nengok. Dulu, saat jadi Bupati Purwakarta, dia ngotot mengangkat budaya Sunda sampai ke ubun-ubun. Ornamen kujang di mana-mana, patung-patung Dewa dan tokoh legenda bermunculan seperti jamur musim hujan.
Ada yang bilang, ini bentuk cinta budaya. Tapi tak sedikit pula yang mencibir: “Ini budaya lokal atau malah budaya Hindu?”
Kontroversi pun tumbuh, seperti rumput liar di tengah taman yang baru dirapikan.
Gaya kepemimpinannya nggak pernah biasa-biasa saja. Saat pejabat lain sibuk dengan meja kerja dan dasi, Dedi malah lebih sering keliling kampung, nyapa warga, ngobrol di warung, atau numpang makan di dapur rakyat kecil.
Katanya, dia mau jadi pemimpin yang nggak berjarak.
Dan rakyat? Banyak yang simpati. Tapi tentu, ada juga yang skeptis. Tulus, bisa jadi. Pencitraan, ya, bisa juga. Semua tergantung dari sudut mana kita menonton.
Di dunia politik, Dedi juga lincah seperti kucing kampung—tahu kapan melompat, kapan mengendap.
Tapi politik bukan soal lari cepat, ini maraton, dan lawan-lawannya nggak main-main.
Namun, tak bisa dipungkiri, Dedi punya magnet.
Ia tahu bagaimana memancing perhatian di lautan media sosial. Kontennya kerap viral: bantu rakyat kecil, bersih-bersih rumah warga, urus orang tua terlantar.
Ada yang bilang tulus, ada yang nyinyir bilang setting-an.
Tapi seperti kata pepatah Sunda: “Tong ngukur kahadean batur ku ukuran sorangan.”
Artinya, jangan ukur kebaikan orang lain pakai penggaris kita sendiri.
Akhirnya, Dedi Mulyadi tetaplah Dedi Mulyadi. Sosok yang tak mudah dikotakkan.
Ia bukan malaikat, tapi juga belum tentu serigala.
Ia hanya manusia, yang mencoba menyeimbangkan idealisme, citra, dan realita.
di panggung bernama politik Indonesia, yang tak pernah sepi dari drama.