Minggu (20/10/2024), Pidato Prabowo Subianto menimbulkan berbagai reaksi Pidato di kalangan publik dan para pengamat komunikasi. Dari sudut pandang etika dan filsafat komunikasi, terdapat sejumlah aspek yang patut dikritisi, terutama dalam hal transparansi, tanggung jawab, dan komitmen terhadap dialog yang jujur dan terbuka.
Pidato Prabowo Perspektif Etika Komunikasi
Dalam perspektif etika komunikasi, kejujuran adalah salah satu pilar utama. Pidato seorang pemimpin seharusnya mencerminkan kebenaran yang tak terbantahkan serta mewakili aspirasi rakyat dengan jelas. Pidato Prabowo, menggunakan retorika yang, meskipun memukau secara oratoris, bisa dipertanyakan substansinya. Retorika yang terlalu bergantung pada jargon populis dan janji-janji umum tanpa rincian spesifik berpotensi menimbulkan kesan manipulatif. Hal ini, jika dilihat dari sudut pandang etika komunikasi, dapat diartikan sebagai ketidakjujuran atau setidaknya kurangnya keterbukaan dalam membahas realitas tantangan yang dihadapi bangsa.
Filsafat komunikasi menekankan pentingnya dialog, di mana komunikasi bukan hanya tentang penyampaian pesan tetapi tentang penciptaan ruang yang memungkinkan timbal balik. Prabowo cenderung menggunakan pendekatan monologis dengan menonjolkan dirinya sebagai pusat dalam pidatonya. Pendekatan ini mengabaikan prinsip dialogis yang digagas oleh filsuf seperti Martin Buber, yang menekankan “Aku dan Engkau” sebagai dasar komunikasi yang sehat. Pidato yang terlalu fokus pada pesan sepihak berpotensi menciptakan jurang antara pembicara dan audiens, mengikis rasa partisipasi publik dan membatasi interpretasi kritis dari masyarakat.
Baca Juga: “Wajah Baru Wakil Rakyat: Akankah Menjawab Asa Suara Masyarakat?
Etika komunikasi juga mengharuskan adanya tanggung jawab sosial, yaitu mempertimbangkan dampak dari pesan terhadap audiens. Dalam pidato ini, meskipun Prabowo menyampaikan visi dan misi yang optimis, pengamat skeptis mungkin melihat kurangnya elemen konkrit untuk mengatasi masalah sosial-ekonomi atau politik yang mendesak. Ketika pemimpin menyampaikan narasi yang terlalu optimistis tanpa membahas langkah-langkah praktis, ada risiko menimbulkan rasa apatis atau bahkan ketidakpercayaan di kalangan pendengar yang ingin mendengar solusi realistis. Hal ini merongrong tanggung jawab sosial pidato sebagai alat untuk mendorong perubahan yang nyata.
Pidato Prabowo dalam Filsafat Komunikasi
Dari sisi filsafat komunikasi, gaya retoris Prabowo dalam pidato ini menunjukkan penggunaan bahasa yang memukau, yang sering kali berhasil menarik perhatian pendengar pada tingkat emosional. Namun, jika bahasa retoris Prabowo terlalu abstrak dan bersifat superfisial, pesan pidato dapat kehilangan kedalaman makna dan mengabaikan kompleksitas isu-isu terkini. Para filsuf seperti Jürgen Habermas menekankan bahwa komunikasi harus mencapai pemahaman yang rasional dan menghindari manipulasi. Jika pidato tidak mengandung argumen yang logis dan analisis yang mendalam, hal ini dapat menghasilkan makna sebagai pelanggaran terhadap prinsip komunikasi deliberatif yang bertujuan membangun konsensus melalui diskusi rasional.
Kesimpulan
Dalam konteks etika dan filsafat komunikasi, pidato Prabowo bisa dipandang sebagai upaya untuk memperkuat citra dan daya tarik politik. Namun, tanpa kejujuran yang lebih besar, dialog yang melibatkan audiens secara lebih mendalam, dan tanggung jawab sosial yang nyata, ada potensi bahwa pidato semacam ini berisiko memperdalam skeptisisme publik. Agar pidato politik dapat dianggap beretika dan bermakna, penting bagi pemimpin untuk menyampaikan visi dengan transparansi, berbasis pada dialog, serta menyertakan peta jalan konkret yang mencerminkan komitmen terhadap kepentingan bersama.