Satuimpresi.com – Belakangan ini, terjadi kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota dari beberapa organisasi masyarakat (ormas) yang ada di Indonesia. Di Cilandak misalnya. Seorang oknum ormas berinisial AYS (30) melakukan pengancaman dan kekerasan kepada para buruh pabrik di daerah Asrama Serba Antik, Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? dan mengapa oknum-oknum tersebut berani melakukan hal tersebut?
Negara Kurang Bertindak Tegas
Negara seharusnya berdiri sebagai penjaga ketertiban dan penegak hukum. Namun, kenyataannya, negara justru sering membiarkan Ormas berperilaku sewenang-wenang tanpa sanksi yang jelas. Banyak ormas bertindak layaknya aparat bayangan. Mereka melakukan intimidasi, sweeping, bahkan kekerasan fisik di ruang publik. Anehnya, aparat penegak hukum kerap membiarkan mereka bertindak atas nama moralitas atau kebudayaan. Negara tahu, tapi memilih diam. Diam yang melanggengkan kekacauan.
Ketika sekelompok orang menggunakan kekuatan massa untuk mengontrol ruang publik dengan dalih menjaga ketertiban, mereka sebetulnya sedang menjalankan premanisme yang terorganisir. Ironisnya, negara memberi mereka ruang lewat izin resmi dan bahkan anggaran. Aparat lebih sering menghindari konflik dengan mereka ketimbang menindak pelanggaran hukum yang jelas-jelas terjadi.
Izin dan Anggaran Jadi Alat Legitimasi
Negara kerap berdalih bahwa ormas memiliki hak untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat. Namun, ketika ormas menggunakan hak itu untuk menekan, menakut-nakuti, dan merusak, negara tak kunjung mencabut izin mereka. Padahal, setiap bentuk organisasi sosial harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Sayangnya, logika ini berhenti berjalan ketika negara merasa diuntungkan secara politik.
Lebih menyakitkan lagi, sebagian ormas menerima bantuan dana dari pemerintah. Dengan kata lain, negara justru mendanai praktik-praktik premanisme lewat saluran resmi. Situasi ini menciptakan paradoks: rakyat membayar pajak agar keamanan terjaga, tapi uang mereka justru membiayai kelompok-kelompok yang merusak rasa aman itu sendiri.
Rakyat Membayar Harga Terbesar
Dalam setiap kasus kekerasan ormas, masyarakat selalu menjadi korban. Warung kecil yang dipaksa tutup, acara budaya yang dibubarkan, atau minoritas yang diteror adalah potret betapa rapuhnya perlindungan hukum bagi warga biasa. Negara seharusnya berdiri untuk mereka, bukan bersembunyi di balik perjanjian politik yang menyelamatkan segelintir elite.
Jika negara tetap membiarkan ormas bertindak seenaknya, maka negara sebenarnya sedang memberi ruang bagi premanisme yang tersembunyi di balik label organisasi. Premanisme bukan sekadar aksi kekerasan di jalan, tetapi mencerminkan perebutan kuasa atas ruang publik, klaim sepihak atas kebenaran, dan keistimewaan untuk lolos dari jerat hukum.
Negara Harus Hadir, Bukan Berkompromi
Negara harus berhenti bersikap berhati-hati saat menghadapi ormas yang melanggar hukum. Penegakan hukum yang lemah justru membuat kelompok yang mengatasnamakan ormas merasa bebas melakukan kekerasan, intimidasi, dan pemaksaan tanpa konsekuensi. Pemerintah perlu mengambil sikap tegas agar semua pihak, tanpa memandang nama organisasi, ideologi, atau besar massa, mengikuti aturan hukum yang berlaku.
Polisi dan aparat keamanan wajib segera bertindak lebih tegas terhadap aksi-aksi yang melanggar hukum, bahkan jika pelakunya berasal dari ormas dengan jaringan kuat. Pemerintah juga harus mencabut izin ormas yang terbukti melakukan kekerasan, provokasi, atau menyebarkan kebencian. Setiap langkah yang diambil harus berdasar pada fakta dan bukti yang jelas, bukan karena tekanan politik atau pertimbangan elektoral.
Selain itu, lembaga penegak hukum harus membangun sistem pemantauan yang rutin terhadap aktivitas ormas. Negara harus memastikan ormas menjalankan peran positif dalam masyarakat, bukan menjadi alat kekuasaan atau ancaman bagi hak-hak warga. Keberanian pemerintah dalam menegakkan hukum dengan adil menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan publik dan mencegah munculnya premanisme berkedok organisasi.
Jika pemerintah terus menunda tindakan tegas, ormas akan semakin merasa kebal hukum dan bertindak semaunya. Akibatnya, bukan hanya hukum yang kehilangan wibawa, tapi juga rakyat yang kehilangan rasa aman di negeri sendiri.
Baca Juga : “Simfoni Kehidpan dan Kematian di dalam Lagu Putih”