Dendam Sebagai Satu-Satunya Warisan dalam The Last of Us Season 2

The Last of Us Season 2 / Source: NET
The Last of Us Season 2 / Source: NET

Di dunia yang sudah lama kehilangan harapan, kemanusiaan tidak mati. Ia hanya berubah bentuk—kadang menjadi kasih sayang, tapi lebih sering menjelma sebagai amarah. The Last of Us musim kedua tidak lagi bercerita tentang penyintas dan pengorbanan. Musim ini menatap balik penontonnya dan bertanya: apa yang tersisa dari manusia ketika cinta berubah menjadi luka?

Musim ini mengambil risiko naratif besar sejak awal: kematian Joel (Pedro Pascal). Bagi banyak penonton, Joel adalah jantung dari musim pertama—ia bukan hanya pelindung, tetapi juga lambang kasih yang muncul dalam kehancuran. Kehilangan Joel bukan sekadar kehilangan karakter, tetapi juga kehilangan arah kompas emosional. Justru dari kehampaan itu, serial ini membuka ruang untuk menyelami sisi paling gelap dari jiwa manusia: balas dendam.

Ellie (Bella Ramsey) bukan lagi gadis kecil yang mencoba memahami dunianya. Ia menjadi pengembara sunyi yang dihantui bayangan Joel. Setiap langkahnya diselimuti oleh kemarahan yang dingin dan tekad yang membara. Inilah kekuatan musim kedua: dendam menjadi poros naratif yang menantang simpati penonton.

Balas dendam tidak pernah menjadi penyelesaian. Namun dalam dunia yang tidak lagi punya keadilan, membalas menjadi satu-satunya cara untuk merasa hidup. Ellie mengejar musuhnya bukan hanya karena kebencian, tetapi karena ia tak tahu lagi ke mana harus meletakkan cinta dan kehilangan. Serial ini tidak memberi kepuasan khas kisah aksi atau keadilan. Sebaliknya, ia menyodorkan luka yang terus menganga, bahkan setelah darah dibalas darah.

Karakter-karakter baru seperti Dina (Isabela Merced) dan Abby (Kaitlyn Dever) memperluas spektrum emosi cerita. Dina hadir sebagai pelipur dalam kehidupan Ellie, tetapi bahkan cinta pun tidak cukup kuat menahan arus kehancuran yang datang dari dalam. Abby, yang diperkenalkan sebagai “musuh,” justru mencerminkan kenyataan yang menyakitkan: seorang anak yang juga kehilangan, yang juga marah, yang juga manusia.

Keduanya terikat dalam lingkaran dendam yang sama. Namun alih-alih mencapai klimaks yang memuaskan, pertemuan mereka justru menjadi momen paling jujur dari serial ini—dua orang yang kehilangan terlalu banyak, saling menatap sebagai bayangan diri sendiri. Tidak ada pemenang. Tidak ada pembebasan. Hanya kepedihan yang terus diwariskan.

Meski dibangun di atas dunia pasca-apokaliptik yang keras, The Last of Us tetap unggul dalam detail manusiawinya. Visual sinematik yang indah dan atmosfer yang terjaga ketegangannya memperkuat dampak emosional yang terbentuk perlahan. Namun, beberapa pengamat mencatat bahwa representasi sosial—seperti queerphobia—terkadang terlalu disorot sepihak, tanpa memperlihatkan kompleksitas diskriminasi lain yang mungkin tumbuh dalam dunia seperti ini.

Akhirnya, The Last of Us Season 2 bukan kisah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini kisah tentang bagaimana manusia membawa cinta yang telah menjadi luka, dan mencoba menebusnya dengan kekerasan—meski di dalam hati mereka tahu, tak ada luka yang bisa ditebus. Dalam dunia ini, tidak ada yang benar-benar selamat. Yang ada hanyalah orang-orang yang belajar hidup dengan rasa bersalah mereka… atau mati karenanya.

Baca juga  https://satuimpresi.com/film/the-last-of-us-homo-homini-lupus-pandemi/

Bagikan: Dendam Sebagai Satu-Satunya Warisan dalam The Last of Us Season 2