Revisi UU TNI: Antara Solusi dan Ilusi

Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, pada 19 Mei 1998.
Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, pada 19 Mei 1998.

Satuimpresi.com – Belakangan ini, pemerintah dan DPR sedang membahas revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Jumat (16/03/2025). Perubahan ini memperluas tugas TNI dalam operasi non-militer dan memungkinkan lebih banyak prajurit aktif menduduki jabatan di lembaga sipil, dari sebelumnya 10 menjadi 16. Pemerintah mengatakan bahwa ancaman terhadap keamanan nasional semakin kompleks, sehingga peran TNI harus lebih fleksibel. Namun, apakah revisi ini benar-benar menjadi solusi bagi keamanan nasional, atau justru menjadi ilusi yang mengancam supremasi sipil?

Perluasan Peran TNI: Solusi atau Masalah Baru?

Perluasan peran TNI dalam urusan non-militer menimbulkan opini negatif di publik. Pasalnya, sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil sering kali menggerus demokrasi dan mempersempit ruang partisipasi publik. Pada masa Orde Baru, dwifungsi ABRI memberikan kontrol besar bagi militer atas pemerintahan, yang menghambat perkembangan demokrasi yang sehat. Revisi ini terindikasi dapat membuka jalan bagi keterlibatan TNI dalam urusan sipil yang lebih luas. Bahkan, besar kemungkinan demokrasi Indonesia akan mengalami kemunduran.

Selain itu, reformasi sektor keamanan sejak era Reformasi bertujuan untuk memisahkan peran militer dan sipil agar supremasi sipil tetap terjaga. Jika revisi ini disahkan tanpa batasan yang jelas, kembalinya militerisme di Indonesia bukanlah suatu  hal yang tak mungkin. Pemerintah seharusnya fokus memperkuat lembaga sipil yang bertanggung jawab atas keamanan nasional, bukan memberi lebih banyak kewenangan kepada militer dalam urusan di luar tugas utamanya.

Jika pemerintah ingin memperkuat sektor keamanan menghadapi tantangan yang lebih besar, langkah yang lebih tepat adalah memperkuat kapasitas lembaga sipil yang ada, bukan memperluas kewenangan militer tanpa batasan yang jelas.

Benturan Wewenang Antar Lembaga

Revisi Undang-Undang TNI ini juga memperburuk tumpang tindih wewenang antara TNI dan lembaga lain. Dalam penanganan narkotika misalnya. Badan Narkotika Nasional (BNN) dan kepolisian telah memiliki mandat jelas. Jika TNI turut terlibat dalam urusan ini, batasan kewenangannya harus diatur secara ketat agar tidak terjadi benturan di lapangan. Tanpa aturan yang tegas, koordinasi justru bisa berujung pada konflik antar-institusi, yang pada akhirnya dapat memperlemah efektivitas penegakan hukum.

Selain itu, kehadiran TNI dalam sektor pertahanan siber juga menimbulkan dilema. Salah satunya dalam ranah siber pemerintah. Saat ini, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah memiliki tugas utama dalam perlindungan siber nasional. Jika TNI turut mengambil alih tugas ini, perlu ada regulasi yang jelas agar tidak terjadi duplikasi kerja yang berpotensi memperumit penanganan ancaman siber.

Terancamnya Supremasi Sipil

Revisi UU TNI yang memperluas peran militer dalam urusan sipil berpotensi mengancam demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Keterlibatan militer yang lebih luas tanpa batasan jelas berisiko mengembalikan militerisme serta menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga sipil yang ada. Pemerintah sebaiknya fokus menguatkan kapasitas lembaga sipil dalam menghadapi tantangan keamanan, bukan memperbesar peran militer yang dapat merusak prinsip-prinsip demokrasi.

Penting bagi pemerintah dan DPR untuk menyadari bahwa langkah mundur ini dapat menciptakan ketegangan dalam struktur kekuasaan di Indonesia, mengancam keberlanjutan demokrasi, dan memperburuk hubungan antara lembaga-lembaga sipil dan militer. Tanpa regulasi yang jelas, revisi ini hanya akan menodai semangat reformasi yang telah berjalan selama ini.

Baca Juga: “Musisi Indie dan Bayang-Bayang Major Label”

Bagikan: Revisi UU TNI: Antara Solusi dan Ilusi