Kurang dari setahun lagi masyarakat Indonesia akan menorehkan sejarah baru untuk pertama kali menyelenggarakan Pemilu, pemilihan presiden, dan pilkada secara serentak pada 2024. Penyelenggaraan pemungutan suara pemilihan presiden, serta pemilihan anggota DPD, DPR, DPRD I dan II, digelar pada 14 Februari 2024. Sementara pemilihan kepala daerah digelar secara serentak pada November 2024.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu tentu harus mempunyai komitmen kuat untuk mewujudkan ritual 5 tahun sekali ini agar berlangsung jujur, adil, dan demokratis.
Dilansir dari kompas.com, KPU secara resmi telah menetapkan 17 partai politik peserta Pemilu 2024 berikut nomor urutnya. Ada sembilan partai yang mempunyai wakil di DPR dan delapan partai yang lolos verifikasi faktual. Penetapan itu menunjukkan partai politik yang akan ikut kontestasi pesta demokrasi lima tahunan berikut nomor urutnya. Partai yang mempunyai wakil di DPR yaitu PDI-P, Partai Golkar, Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PPP, PAN, PKS, dan NasDem. Sementara partai yang tidak mempunyai wakil di DPR, tetapi lolos verifikasi faktual yaitu PSI, Perindo, Partai Garuda, Partai Gelora, Hanura, PBB, dan Partai Buruh.
Popularitas Sebagai Prioritas
Gelanggang kontestasi 2024 seharusnya bukan gelanggang kontestasi yang dihasilkan dari 20 persen kursi, elektabilitas atau popularitas semata. Kontestasi mendatang seharusnya dipenuhi dengan gagasan dari anak bangsa yang benar-benar mampu mendiagnosa masalah yang tengah terjadi di Negeri ini dan diharapkan mampu mengobatinya.
Presidential threshold seperti sebuah ‘barrier’ yang menghambat figur-figur berkualitas untuk maju. Presidential threshold yang diatur dalam UU Pemilu memang mensyaratkan ambang batas suara yang harus diperoleh Parpol dalam Pemilu untuk dapat mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden. Walau ambang batas 20 persen ini sudah diterapkan dalam Pilpres 2014 dan 2019 lalu, nyatanya masih banyak pihak yang menentang.
Bahkan tidak sedikit Parpol yang keberatan dengan aturan ini dan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka beralasan presidential threshold 20 persen terlalu tinggi sehingga membuat Pilpres tidak demokratis, menghambat figur muda untuk nyapres, dan membuat masyarakat terbelah.
Pengerucutan 3 nama hasil dari presidential threshold yang saat ini tengah terjadi bukanlah suatu hal yang baik. Adanya 3 nama yang melulu digaungkan, seolah-olah bangsa ini hanya mempunyai stok pemimpin terbatas. Bukan kemudian Anies, Ganjar, Prabowo adalah pilihan yang buruk yang kita miliki saat ini. Ketiga nama itu tentu merupakan salah-satu kader terbaik bangsa ini. Namun, jika pilihannya terbatas bukankah kemungkinan yang diperoleh juga akan ikut terbatas?
Analogi sebuah warung nasi yang hanya memiliki 3 menu untuk sekian banyak perut yang lapar, dengan lidah yang sebenarnya tidak terlalu cocok, tentu kita terpaksa memilih hanya untuk mengenyangkan perut namun tidak dengan kepuasannya. Atau bahkan ada dari kita yang tidak sama sekali dan memilih untuk disetubuhi rasa lapar yang ideal.
Dalam keadaan demikan, civil society kini diharapkan mampu menjadi ujung tombak untuk membenahi permasalahan yang ada. Jadikan tanggung jawab 5 tahun sekali ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Jangan sampai urusan yang mencakup seluruh aspek dan komponen bangsa ini hanya dimiliki segelintir partai politik peserta Pemilu yang ada.