Paradoks Hasil Bumi Indonesia: Susu Lokal Terabaikan, Susu Impor Diprioritaskan

Foto: radarsolo

Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan potensi alam yang melimpah, termasuk dalam sektor peternakan yang mana salah satu hasil bumi yang seharusnya menjadi andalan adalah susu segar dari peternakan lokal. Namun, ironi muncul ketika pemerintah justru lebih memilih mengimpor susu dari negara tetangga seperti Malaysia, sementara peternak lokal kesulitan memasarkan produknya. Fenomena ini mencerminkan paradoks dalam kebijakan ekonomi Indonesia dimana di satu sisi, ada upaya meningkatkan ketahanan pangan, tetapi di sisi lain kebijakan impor menggerus daya saing produk lokal. Pendekatan ini tidak hanya merugikan peternak, tetapi juga memperburuk ketergantungan Indonesia terhadap produk impor. Muncul suatu pertanyaan, Mengapa pemerintah terkesan abai terhadap potensi susu lokal? Bagaimana bentuk responsif mereka dengan adanya huru hara dari peternak lokal karena permasalahan tersebut.Menelah Kebijakan impor susu ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pengelolaan potensi domestik. Alih-alih mendukung peternak lokal dengan investasi yang memadai, seperti penyediaan akses teknologi, pembiayaan, dan pasar yang stabil, pemerintah lebih memilih solusi instan melalui impor. Padahal, jika dikelola dengan baik, produksi susu lokal dapat menjadi penopang kebutuhan dalam negeri sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak.

Lebih lanjut, Dalam konteks upaya pemenuhan kebutuhan gizi Masyarakat Presiden Indonesia, Prabowo Subianto telah menekankan pentingnya swasembada pangan dan kedaulatan gizi sebagai bagian dari strategi nasional. Program-program yang diusung Prabowo, seperti peningkatan ketahanan pangan melalui diversifikasi produksi pangan dan pengembangan potensi peternakan lokal, yang sebenarnya sejalan dengan kebutuhan untuk memperkuat produksi susu lokal. Prabowo juga sering menyoroti pentingnya akses makanan bergizi, termasuk susu, untuk mengatasi masalah stunting yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Dalam visi ini, pemberdayaan peternak lokal menjadi elemen kunci. Dengan memperkuat rantai pasok susu lokal, bukan hanya ketahanan gizi yang ditingkatkan, tetapi juga ekonomi pedesaan dapat tumbuh. Peternak mendapatkan peluang ekonomi yang lebih baik, sementara masyarakat dapat menikmati susu segar dengan kualitas terjamin.

Tetapi dapat disayangkan, Keputusan Indonesia untuk mengimpor susu dari Malaysia merupakan Langkah yang berlawanan untuk merespon jeritan rakyat dengan adanya pembatasan pasokan yang menandakan bahwa kurangnya sumber daya serta tingkat produksi susu lokal di Indonesia masih rendah. Seharusnya, dengan adanya seruan rakyat rersebut tentu harus dipertimbangkan kembali lahirnya kebijakan kebijakan terkait dengan perternakan dan pertanian di Indonesia ssekaligus menjadi bentuk evaluasi. Angka impor susu dari Malaysia yang mencapai 14.574 ton menunjukkan besarnya ketergantungan Indonesia terhadap produk susu asing, dapat dikatakan juga angka ketergantungan tersebut naik 7% ditahun 2024. Data ini mencerminkan dua hal utama: masih lemahnya industri susu lokal dan kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya mendukung kemandirian di sektor peternakan. Melihat kegiatan tersebut, dapat diamsusikan bahwa negara tetangga kita Malaysia dapat dikatakan lebih baik menerima perlakuan sebagai sektor pendukung perekonomiannya oleh Pemerintah, karena angka besaran impor tersebut juga menjadi salah satu bentuk keberhasilan pemerintah Malaysia dalam mengelola sektor perekonomiannya meskipun dibalik itu negara tersebut juga menghadapi kemelut permasalahan yang ada.

Paradoks perekonomian Indonesia dalam prioritas terhadap susu impor dibandingkan susu lokal mencerminkan ketidakselarasan antara potensi yang dimiliki bangsa dan kebijakan yang diterapkan. Di satu sisi, Indonesia memiliki sumber daya alam dan tenaga kerja yang cukup untuk memproduksi susu berkualitas, namun di sisi lain, pemerintah lebih memilih solusi instan melalui impor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Untuk mengatasi paradoks ini, diperlukan kebijakan yang tegas dan berorientasi pada pemberdayaan lokal. Investasi pada infrastruktur peternakan, subsidi pakan, penguatan pasar untuk susu lokal, serta pembatasan impor harus menjadi prioritas. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan impor, mendukung keberlanjutan ekonomi lokal, dan mewujudkan kemandirian pangan yang lebih kuat. Paradoks ini harus segera diakhiri demi masa depan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Penulis: Akbar Muhammad Luthfi Al Mughni / 202010360311186

Bagikan: Paradoks Hasil Bumi Indonesia: Susu Lokal Terabaikan, Susu Impor Diprioritaskan