Dalam konteks apapun, seorang pendakwah memegang tanggung jawab moral dan etik yang besar terhadap umat yang ia hadapi. Ucapan Miftah yang menyebut seorang pedagang dengan istilah “goblok,” terlepas dari niatnya sebagai humor, bukan hanya melukai perasaan tetapi juga merusak esensi panggung dakwah itu sendiri. Kesalahan ini bukan perkara sepele. Ini bukan soal salah paham atau beda perspektif, melainkan sebuah bentuk pelecehan terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijaga oleh seorang pendakwah.
Dakwah Bukan Panggung Hiburan
Sebagai seorang tokoh agama, panggung dakwah adalah arena sakral. Itu bukan tempat untuk membawa gaya roasting ala komika atau komedian yang berbasis pada ejekan dan penghinaan. Tidak peduli apakah istilah “goblok” itu hanya sebuah candaan, publik yang hadir di pengajian bukan audiens acara komedi. Mereka datang untuk mencari bimbingan spiritual, bukan untuk dihibur dengan lelucon yang merendahkan.
Meminjam konsep Emile Durkheim, panggung dakwah adalah ruang sakral yang penuh dengan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi. Ketika Miftah membawa gaya panggung hiburan ke arena ini, ia melanggar batasan yang mendefinisikan perannya sebagai seorang pendakwah. Ia telah mencampuradukkan peran, mengaburkan garis antara pendakwah dan entertainer. Dalam konteks ini, ia jelas salah panggung, dan kesalahannya tidak bisa dibenarkan.
Argumen “Gojlokan” Tidak Relevan
Para pendukung Miftah mungkin berusaha membela ucapannya dengan alasan bahwa “goblok” adalah bagian dari gaya dakwah populis. Namun, argumen ini tidak relevan. Humor dalam dakwah memang diperlukan, tetapi harus dibingkai dengan cara yang membangun dan bermartabat. Menggunakan istilah yang memiliki konotasi penghinaan tidak hanya melanggar etika, tetapi juga mencoreng integritas seorang pendakwah.
Lebih jauh, ucapan seperti ini menciptakan preseden buruk. Ketika seorang tokoh agama mulai menggunakan bahasa kasar di depan publik, apa yang mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama? Miftah seharusnya menjadi contoh, bukan malah menormalisasi perilaku yang tidak pantas.
Opini Publik Sebagai Alarm Sosial
Respons negatif yang meluas terhadap ucapan ini mencerminkan kegelisahan masyarakat terhadap perilaku pendakwah yang semakin jauh dari esensi dakwah itu sendiri. Jika publik dengan tegas mengecam tindakan ini, itu bukan tanpa alasan. Mereka melihat bahwa ada batas yang telah dilanggar. Dalam dunia di mana pengaruh tokoh agama begitu besar, toleransi terhadap ucapan seperti ini sama saja dengan mengabaikan kehormatan panggung dakwah itu sendiri.
Hiperrealitas opini publik, melansir dari artikel yang dimuat di kompas.com dengan judul Hiperrealitas Opini Miftah dan Perlawanannya, bukan sekadar gejala sosial yang terjadi begitu saja. Ini adalah alarm kolektif dari masyarakat yang menuntut akuntabilitas. Miftah, dengan segala kelebihannya, harus menerima kenyataan bahwa tindakannya ini telah melewati batas toleransi.
Waktunya Mundur
Dalam situasi ini, keputusan Miftah untuk mengundurkan diri adalah langkah yang benar, bahkan sudah terlambat. Jabatan sebagai utusan khusus presiden bukan sekadar posisi politik; ia adalah simbol moral dan kepercayaan publik. Dengan segala kontroversi yang ia timbulkan, Miftah telah kehilangan kepercayaan tersebut. Terus bertahan di posisi itu hanya akan memperdalam luka dan menciptakan polemik baru.
Bagi seorang pendakwah, integritas adalah segalanya. Ketika integritas itu dirusak oleh tindakan yang tidak bertanggung jawab, maka tidak ada lagi ruang untuk kompromi. Miftah sudah salah langkah, dan sekarang waktunya untuk benar-benar mundur, tidak hanya dari jabatan, tetapi juga dari panggung dakwah untuk sementara waktu. Refleksi mendalam adalah satu-satunya jalan untuk memperbaiki diri.
Tidak Ada Toleransi untuk Kesalahan Ini
Memaafkan bukan berarti menoleransi. Dalam kasus ini, publik berhak menuntut standar yang lebih tinggi dari seorang pendakwah. Tidak ada ruang untuk candaan yang merendahkan dalam konteks dakwah. Ucapan “goblok” mungkin sederhana, tetapi dampaknya sangat besar. Miftah telah mengkhianati panggung dakwah, dan publik berhak mengatakan cukup sudah. Jika kita terus membiarkan hal ini, kita tidak hanya merendahkan nilai dakwah, tetapi juga menciptakan preseden yang merusak masa depan agama itu sendiri.***