Satuimpresi.com – Hakim merupakan aktor utama atau figur sentral dalam proses peradilan yang dipercayai memiliki profesi mulia (officum nobile) dalam wewenangnya menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama di Pengadilan Negeri, kini berubah profesi menjadi badut yang suskes membuat 275,77 Juta penduduk Indonesia tertawa.
Lawakan bodoh, janggal, aneh tapi nyata dari seorang komedian yang kita percayai sebagai hakim ini semakin nyata membuat kita berfikir bahwa benar adanya kita memang hidup di negara demokrasi lucu-lucuan.
Pentas dagelan itu dapat kita tonton di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kemudian melahirkan keputusan untuk KPU agar menunda Pemilu. Dalam poin lima, hakim memerintahkan tahapan pemilu diulang dari awal sejak putusan diucapkan, yaitu 2 Maret 2023. Artinya, 2 tahun 4 bulan dan 7 hari yang berarti sampai pada 9 Juli 2025.
Lawakan ini tentu berhasil mengundang gelak tawa yang bukan berasal dari perasaan senang atau bahagia. Disaat kita sedang menjalankan proses Pemilihan Umum (Pemilu), yang digugat juga Perdata, keputusannya malah melampaui wewenang yang dimiliki. Jelas gugatannya adalah meminta dikembalikan menjadi peserta Pemilu tapi keputusannya malah melenceng jauh yakni penundaan Pemilu. Seperti meminta tempe kok malah dikasih tahu?
Prihal inilah yang selalu membuat kita semua prihatin, walaupun keputusan hakim harus selalu dihormati sebagai sebuah keputusan hukum, tetapi jika keputusan hukum seperti ini yang terus-terusan dilahirkan, rakyat tentu akan selalu curiga bahwa keputusan ini tidak berdiri sendiri. Pasti terikat dan terkait dengan keputusan politik.
Keputusan aneh, diluar logika hukum, menjadi pertanyaan kita semua apa yang melatar belakangi itu semua sehingga dapat melahirkan keputusan yang super lucu ini. Jika hukum sudah dipermainkan oleh pengadilan, oleh para hakim, maka akan jadi persoalan dalam berdemokrasi di negara ini. Hancur bangsa ini jika hukum terus-terusan dijadikan candaan. Karena sejatinya hakim harus menegaskan adanya supremasi hukum yang kemudian memutuskan sesuatu berdasarkan keadilan, bukan memutuskan berdasar pada faktor lain yang di dalamnya terdapat suatu kepentingan kelompok tertentu.
Yusrizal Hibatullah