Berbeda dengan iklim tropis dengan dua musim hujan dan kemaraunya, tahun politik selalu ditandai hadirnya musim simpatisan dan dukung-dukungan. Tiba-tiba juga banyak yang “ngaku” ketua ornop “A” dan “B”, menganggap sebagai respresentasi rakyat golongan pengguna BPJS, honorer, dan petani miskin serta turunannya. Tahun politik momen emas bagi aktivis kampus yang sedang gerakan mencari kelamin politiknya dari tindakan samar-samar saat di kampus. Tidak salah jika muncul pameo “gagal masuk tenaga ahli DPR atau kemenrtian, adalah kegagalan perencenaan dan pengalaman”. Tak perlu kaget, lagi pula rentang gerakan kampus sudah diisi oleh aktivisme keprofesian yang makin menjelaskan ruang skill kerja potensial bagi anak muda belia.
Intelektuil kampus tidak bisa mengimbangi itu, gerakan warisan pengorganisasian “massa” tidak leluasa menandingi kekuatan modal sosial individu dengan skill mutakhir yang terlewatkan di lingkaran kajian kampus. Gerakan kemahasiswaan terlihat kian amatiran dengan pengorganisasian “narsistik”, mudah dilacak, serta dikenali coraknya. Kampus menggiring hajat mahasiswanya ke tiang gantungan antara percobaan realitas dan tuntutan idealitas semu.
Alih-alih dipahami sempit sebagai demonstrasi atau turun ke jalan, perwujudan gerakan intelektual mahasiswa bisa beragam, termasuk melalui penelitian. Sebab, gerakan intelektual mahasiswa merupakan buah dari dialog antara teori dengan realita, sehingga menghasilkan aksi nyata sebagai jawaban kebutuhan masyarakat. Kampus hanya memperluas “lahan parkir” bukan “lahan pikir” yang bermuara pada perebutan kursi jabatan yang menghasilkan residu lulusan massa yang siap menjadi penyangga pabrik dan perusahan swasta.
Kelas menengah bukan senyatanya harapan yang harus diperjuangkan. Mereka juga tidak bisa bertahan diri untuk menceburkan mereka ke pusat kenikmatan dan komsumsi. Mereka kemudian sebut itu bonus teknologi dan keterbukaan, sungguh nyata itu berbeda. Lalu di mana kritik kritis itu berada? Kritik itu kini semakin cair dan mendengung segala ruang namun tidak pada titik etis selayaknya. Beberapa kini jadi konten dengan harapan popularitas dan “cuan”. Kritisme hanya obrolan temporer yang nihil respon.
Sebutlah rasa krisis terhadap kekerasan agama, konsumerisme yang banal mengikis ruang produktif berbangsa, semisal maraknya mal serta langkanya gedung serba guna masyarakat. Atau sengketa lahan hingga penjarahan sumber daya alam. Bahkan, rasa krisis terhadap perilaku bunuh diri keluarga-keluarga ataupun frustrasi sosial yang terus membengkak, sebut perilaku kekerasan pelajar. Demikian juga politik serba massal yang vulgar hingga perilaku pejabat yang korup dan melayani fasilitas bagi dirinya, sebutlah fasilitas legislatif.
Kelas Pertengahan
Aktivasi internet kelas menengah Indonesia yang masih berupa leisure and pleasure perlu dioptimalkan sebagai kekuatan politik penekan. Hal ini karena jangan sampai aktivisme internet yang kini sedang berkembang terjerembab dalam bentuk aktivisme malas. Munculnya internet sebagai media gerakan memang berperan penting dalam melakukan transformasi politik, namun itu belumlah menjadi kekuatan solidaritas bersama.
Aksi warga dalam jumlah banyak atau people power untuk tujuan apa pun merupakan kekuatan yang luar biasa dan dapat menumbangkan arogansi kekuasaan oleh siapa pun. Neil Smelser, dalam Movement Social and Revolutions, mengatakan ada enam tahap yang menyatukan gerakan masyarakat yang dimotori kaum muda secara menyeluruh, yaitu struktur birokrasi yang korup, munculnya ketertindasan global, transformasi konsep yang jelas antarelemen yang melahirkan kesepahaman, adanya unsur pemicu, mobilisasi, dan adanya pihak-pihak yang menghambat gerakan tersebut secara represif.
Celakanya, kini, sangatlah langka, aktivis yang berada dalam kekuasaan memberi pernyataan sekaligus tindakan politik yang mencerminkan rasa haru untuk mendorong kebangkitan lewat rasa krisis. Intelektual Dawam Rahardjo bahkan melihat tantangan terbesar intelektual adalah ketika tidak mengusahakan kritik dari dalam internal, di mana dia cari makan dan bertanggung peran kerja dan hidup. Tentu ada tuntutan wajib mereka bersikap, tetapi ukuran wawasan mereka ada lah hutang moral yang mesti diperjuangkan pada publiknya. Agama bahkan mengritisi tajam orang intelektual yang jadi “pandir” karena tidak mampu menjelaskan mana sikap pribadi hitam atau putih.
Pada gilirannya, lembaga, partai, dan aparat negara kehilangan kepercayaan dan kewibawaan. Sebutlah kasus bentrok aparat hingga berbagai bentuk penyerangan kantor polisi, ataupun juga tumpang tindih informasi elite politik sehingga masyarakat kehilangan panduan, maupun berfokusnya gerak politik hanya bicara kekuasaan. Dikhawatirkan, demokrasi hanya jadi prosedur, proses berbangsa menjadi semakin banal, vulgar, jalan pintas, korup, dan ekstrem. Yang tersisa, politik bukan memecahkan masalah, melainkan jadi beban masalah rakyat.
Suksesnya gerakan bukan tanggung jawab hasil, justru hak itu merupakan penjelasan posisi pribadi dan pandangan hidup seseorang. Kita wajib tinggalkan persoalan beban identitas yang kita selalu jaga itu. Identitas gerakan adalah proses yang mana nilai penyangganya tidak akan berubah. Jikalau sebatas alasan “marah” gerakan layak dilakukan, lalu apa bedanya dengan ibu rumah tangga yang kehabisan beras dan biaya listriknya. Kita lebih sering menemukan gerakan reaksioner yang dimotori oleh “orang-orang marah” yang akan reda ketika mereka dapat bernegosiasi, kalau perlu mendapatkan hasil cuma-cuma. Bukahkan kita sebenarnya selalu punya alasan untuk marah setiap waktu tanpa harus menunggu momentum dengan skala pasar “serius” atau “tidak serius” sebuah kondisi.