Saatnya Menonaktifkan DPR dan Polri untuk Meredam Murka Rakyat

Satuimpresi.com-Gelombang kemarahan rakyat beberapa waktu terakhir adalah bukti nyata bahwa legitimasi DPR dan Polri sedang runtuh di hadapan publik. Rakyat yang setiap hari bergulat dengan harga kebutuhan pokok dan kesulitan mencari nafkah dipaksa menonton wakilnya berpesta dengan tunjangan puluhan juta rupiah, bahkan ada yang tergelincir dalam gestur “joget” di tengah krisis. Ironi ini semakin pedih ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas di bawah ban mobil Brimob, sebuah simbol paling telanjang bahwa pelindung berubah menjadi penindas.

Apakah kita masih bisa berbicara tentang perwakilan rakyat atau pelindung rakyat ketika nyawa manusia dihargai lebih rendah daripada fasilitas rumah dinas Rp 50 juta per bulan?

DPR bak Teater Elit yang Kehilangan Penonton

Legislatif seharusnya menjadi wadah suara rakyat. Namun faktanya, DPR hari ini lebih mirip panggung sandiwara: penuh aktor, minim empati. Kenaikan tunjangan fantastis di tengah rakyat yang menderita adalah bukti keterputusan struktural. Tidak heran, Presiden Prabowo akhirnya mengumumkan pencabutan tunjangan DPR dan moratorium kunjungan kerja luar negeri. Tetapi publik tahu, itu hanyalah perban tipis untuk luka yang sudah bernanah.

Plato pernah berkata dalam Republik: “The price good men pay for indifference to public affairs is to be ruled by evil men.” Harga dari ketidakpedulian rakyat terhadap politik adalah diperintah oleh orang-orang yang tidak layak. Apa yang terjadi sekarang adalah realisasi getir dari kalimat itu; DPR yang mestinya pengawas, justru menjadi “tuan rumah pesta” di tengah bencana ekonomi.

Polri Sebagai Aparat yang Membuat Rakyat Takut, Bukan Aman

Tragedi Affan Kurniawan menguak kenyataan pahit bahwa rakyat tidak lagi merasa aman di hadapan Polri, justru merasa was-was. Aparat yang seharusnya menjadi pelindung berubah jadi momok. Penggunaan kekuatan berlebihan dalam demonstrasi, penindasan suara kritis, hingga kekerasan yang menewaskan warga sipil, membuktikan bahwa Polri kehilangan fungsi dasarnya.

Apa gunanya seragam, senjata, dan kendaraan taktis jika itu hanya memperlihatkan kekuasaan, bukan perlindungan? Bukankah lebih jujur bila Polri diistirahatkan sementara sampai reformasi radikal bisa dilakukan?

Ada Kehidupan Tanpa DPR dan Polri!

Bagi yang mengatakan “tidak mungkin negara berjalan tanpa DPR dan Polri,” mari kita tengok dunia:

  1. Uni Emirat Arab: salah satu negara dengan ekonomi paling maju di Timur Tengah, nyaris tanpa parlemen demokratis. Pengambilan keputusan terpusat namun rakyat tetap bisa hidup makmur melalui kebijakan distribusi kekayaan.
  2. Singapura di awal kemerdekaannya tidak mengenal parlemen seperti sekarang, melainkan Dewan Legislatif yang sangat terbatas. Negara tetap bisa berjalan, bahkan berlari menuju modernitas, sebelum sistem parlemennya matang.
  3. Islandia sempat berjalan selama berbulan-bulan tanpa kepolisian bersenjata penuh; kriminalitas tetap rendah karena kepercayaan sosial tinggi dan aparat ditempatkan hanya sebagai penjaga sipil.

Artinya, tidak ada yang sakral dalam keberadaan DPR atau Polri. Mereka hanyalah institusi buatan manusia, yang bisa dihapus, direformasi, atau dibangun kembali bila sudah kehilangan ruhnya.

Penonaktifan Sebagai Jalan Tengah

Membubarkan DPR dan Polri secara permanen mungkin ekstrem, tapi menonaktifkan sementara bisa menjadi langkah strategis:

  • Membuka ruang pendinginan atas amarah publik.
  • Memberi waktu untuk audit menyeluruh, baik dari segi keuangan (DPR) maupun budaya kekerasan (Polri).
  • Mengembalikan legitimasi melalui pembentukan lembaga alternatif berbasis partisipasi rakyat dan pengawasan independen.

Seperti kata Aristoteles, “Hukum harus memerintah, bukan manusia.” Jika institusi pelaksana hukum dan pembuat undang-undang justru mencederai hukum itu sendiri, maka sudah saatnya mereka dipinggirkan.

Tragedi demi tragedi yang melibatkan DPR dan Polri bukan lagi sekadar insiden, melainkan tanda sistem yang gagal. Demi meredam murka rakyat dan membuka jalan baru, pembekuan sementara DPR dan Polri adalah pilihan rasional, bukan sekadar emosional.

Dan perlu diingat bahwa kita tidak sedang bicara soal keberanian membubarkan institusi, tetapi soal keberanian menyelamatkan republik dari jurang ketidakpercayaan.

Bagikan: Saatnya Menonaktifkan DPR dan Polri untuk Meredam Murka Rakyat

Berita Lainnya